Mencermati Kolaborasi Koruptor dan Bandar Narkoba Pada Pendanaan Teroris

Dibaca: 940 Oleh Monday, 17 April 2017Opini Publik
Mencermati Kolaborasi Koruptor dan Bandar Narkoba Pada Pendanaan Teroris

Author : Ronald M. Simanjuntak, S.E.

Koruptor, bandar narkoba, dan teroris adalah musuh bersama bangsa yang masuk dalam extraordinary crime. Patut diwaspadai adanya kolaborasi antara koruptor dan bandar narkoba dalam pendanaan terorisme di Indonesia. Kabar terpidana mati bandar narkoba Freddy Budiman yang diduga ikut mendanai aksi teroris di Indonesia menyusul informasi Freddy telah bergabung dengan ISIS adalah salah satu contoh. Adanya money laundring dengan mengadakan aktivitas legal dari uang hasil kejahatan korupsi ataupun narkoba untuk pembiayaan teroris sudah lama terjadi, bahkan melibatkan jaringan internasional. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jika dicermati, beberapa hal ini bisa menjadi penyebabnya:

  1. Ketidaktegasan aparatur penegak hukum dalam menerapkan UU No. 35/2009 tentang Narkotika, pasal 101 ayat (3) yang intinya berisi penyitaan seluruh harta yang didapat dari tindak pidana narkotika yang telah berkekuatan hukum tetap;
  2. Keterlambatan laporan tentang rekening mencurigakan dari PPATK kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim agar memerintahkan pelapor (diantaranya bank) melakukan pemblokiran harta kekayaan sesuai UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, pada pasal 71 ayat (1);
  3. Belum adanya aturan untuk merampas seluruh harta koruptor yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga masih banyak para koruptor yang tetap kaya raya meski hasil kejahatannya telah disita oleh negara melalui putusan pengadilan sehingga tetap dapat menjalankan aksi kejahatannya;
  4. Lembaga Permasyarakatan yang seharusnya dapat menyiapkan para narapidana dengan berbagai keterampilan sebagai modal untuk kembali kemasyarakat dan bekerja untuk kelangsungan hidupnya justru menjadi tempat perekrutan dan pengendalian teroris;
  5. Masih ringannya putusan pengadilan dan belum berani memberikan sanksi maksimal bagi pelaku kejahatan terorisme sehingga tidak ada efek jera dan cenderung setelah bebas mengulangi kejahatannya kembali.

Untuk itu kiranya diperlukan:

  1. Revisi untuk memperkuat UU No. 35/2009 tentang Narkotika pasal 101 ayat (3). Revisi misalnya apabila tersangka kejahatan narkoba meninggal, sakit permanen, melarikan diri tetap bisa disita seluruh hartanya dan sanksi tegas bagi aparat yang tidak menjalankan UU ini;
  2. Seperti UU No. 35/2009 tersebut diatas, perlu pula aturan serupa bagi para koruptor;
  3. Pengawasan pendanaan/logistik melalui transaksi langsung melalui jalur darat dan laut perlu ditingkatkan. Jalur darat memerlukan pengawasan yang lebih ketat sehingga tidak terjadi transaksi langsung untuk suplai logistik dari para teroris dan simpatisannya. Begitupun jalur laut memerlukan evaluasi akan efektifitas kekuatan dan kerjasama antar penegak hukum di laut. Perlu dicermati pula apakah telah terjadi penyelewengan dari aparat keamanan sehingga terjadi kebocoran dan logistik/persenjataan dapat diterima oleh para teroris dan solusi mengatasinya;
  4. Perlunya pengawasan yang lebih ketat pada Lembaga-lembaga Permasyarakatan (LP) untuk mencegah penyebaran terorisme di LP, selain membangun LP baru yang letaknya di wilayah terluar atau jauh dari pusat kota agar komunikasi langsung para teroris dengan pengikutnya dapat diminimalisir. Selain itu pembangunan LP di daerah terpencil atau terluar juga dapat mempercepat pembangunan di wilayah tersebut karena akan diikuti pembangunan sarana dan prasarana seperti pasar, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya.

Demikianlah kiranya secepatnya kita memiliki perangkat peraturan yang lebih tegas dan menyeluruh, disamping harus berani menjatuhkan sanksi maksimal bagi pelaku terorisme sehingga penanganan terorisme ini dapat ditangani dengan lebih efektif.

Terkait

Kirim Tanggapan

Skip to content Made with passion by Vicky Ezra Imanuel