Menko Polhukam: Kita Tidak Ingin Masalah Hambali dipindahkan Ke Indonesia

Dibaca: 251 Oleh Friday, 4 March 2016Berita

Dalam jumpa pers Menteri Koordinator Politik Hukum dan keamanan menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin masalah Hambali dipindahkan ke Indonesia, hal ini diungkapkan Menko Polhukam saat ditanya wartawan mengenai rencana penutupan penjara Guantanamo. Menurut Luhut, ia akan berbicara dengan pihak terkait atas masalah tersebut.

Menko Polhukam berbicara dengan wartawan setelah memaparkan perkembangan terakhir mengenai terorisme, narkoba dan stabilitas ekonomi. Pengarahan tersebut dihadiri  Menko Pohukam RI dalam rangka antisipasi gangguan anarkisme , radikalisme, dan terorisme untuk menjaga stabilitas politik, keamanan, hukum dan ekonomi di Pekan Baru, Riau (2/3).

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan meyakinkan masyarakat bahwa Indonesia saat ini dalam keadaan yang cukup aman.

Dalam pertemuan tersebut Menko Polhukam memberikan gambaran tentang keamanan di Timur Tengah yang sedang dilanda konflik akibat turunnya harga minyak dunia, dan juga konflik ISIS.  “Pemerintah tidak ingin Indonesia seperti di Timur Tengah” tegasnya dalam pertemuan tersebut.

Untuk itu, meski Indonesia telah diajak kerjasama militer menghadapi ISIS, pemerintah harus menolak karena ingin melakukan pendekatan secara lunak, atau soft approach dalam menghadapi perang ideologi di tanah air. Ini karena pemerintah melihat pendekatan militer di Timur Tengah tidak berhasil dalam mengatasi ideologi radikal tersebut. Pendekatan soft approach adalah pendekatan yang menggunakan agama serta budaya untuk mencegah berkembangnya ideologi radikal yang coba ditumbuhkan oleh sejumlah pihak.

Menurut Menko Polhukam, Kementerian agama, Kementerian Sosial dan semua kementerian terkait harus bekerjasama secara terpadu untuk menjalankan program deradikalisasi secara holistik. Menteri Luhut menambahkan bahwa saat ini SDM aparat penegak hukum, dan alat yang dimiliki dalam menangani masalah terorisme sudah sangat baik. Meskipun kelompok teroris sendiri telah berkembang lebih maju dalam soal alat, untuk dapat lepas dari penyadapan, namun aparat tetap berhasil mendeteksi pergerakan kelompok ini.

Contohnya saja dalam kasus bom Thamrin yang terjadi pada Januari lalu, sebenarnya telah terendus aparat sejak Desember 2015. Ini dapat terjadi karena koordinasi antara penegak hukum dalam mencegah dan menindak kasus-kasus terorisme sudah sangat baik.

Saat ini organisasi-organisasi pendukung ISIS di Indonesia masih terpecah, namun bukan berarti tidak membahayakan. Untuk itulah  pentingnya revisi UU terorisme no 15 tahun 2003 yang saat ini tengah diajukan untuk dibahas di DPR perlu segera tuntas. Salah satunya adalah agar aparat dapat melakukan tindakan preventif terhadap gerakan terorisme.

Terkait

Kirim Tanggapan

Skip to content Made with passion by Vicky Ezra Imanuel