Kerawanan Daerah Perbatasan

Dibaca: 943 Oleh Thursday, 18 February 2016Opini Publik
Kerawanan Daerah Perbatasan

Author :: Bungko Dewa
Date :: Sen 03/07/2011 @ 02:16
Dalam kesempatan kunjungan ke Provinsi Kepualau Riau dan terlibat perbincangan dengan berbagai kalangan di penghujung bulan Februari kemarin, saya melihat ada satu pokok masalah yang perlu mendapat perhatian yang cukup serius di Provinsi Kepulauan Riau, yaitu kesenjangan pembangunan daerah di kawasan perbatasan. Baik dibandingkan dengan ibu kota provinsi apalagi untuk membandingkannya dengan negara-negara tetangga di perbatasan.

Di Provinsi Kepri terdapat 2804 pulau (yang bernama maupun yang belum bernama), tetapi yang tercatat di PBB hanya 1704 pulau. PBB rupanya tidak mencatat pulau-pulau yang tenggelam saat air laut pasang. Dari pulau-pulau yang tersebar tersebut terdapat 19 pulau terluar (terdepan), yaitu; Pulau Iyu Kecil, Pulau Karimun Kecil, Pulau Nipah, Pulau Pelampong, Pulau Batu Barhanti, Pulau Nongso, Pulau Sentut, Pulau Tongkong Malangbiru, Pulau Damar, Pulau Mangkai, Pulau Tokong Nanas, Pulau Tokong Belayar, Pulau Tokong Boro, Pulau Semiun, Pulau Sebetul, Pulau Sekatung, Pulau Senua, Pulau Subi Kecil, dan Pulau Kepala.

Kesenjangan daerah kawasan perbatasan tersebut menjadi sangat rawan karena kemampuan infrastruktur pembangunan belum menjangkau daerah perbatasan secara maksimal. Pulau-pulau terluar kurang mendapatkan akses informasi yang diperlukan masyarakat di perbatasan, walapun di Provinsi Kepri terdapat 4 (empat) stasiun televisi lokal (Barelang TV, Batam TV, Semenanjung TV, dan Urban TV). Televisi swasta nasional seperti RCTI, SCTV, Trans TV, TPI, Indosiar, dan Metro TV juga telah merambah siarannya ke Provinsi Kepri tetapi dengan audio dan gambar yang kurang sempurna walaupun telah dipasangkan antena parabola. Sementara siaran televisi negara tetangga dari kelompok Mediacorp Singapura maupun siaran televisi Malaysia dapat ditangkap dengan jernih hanya dengan menancapkan antenna TV biasa.

Agar tidak tertinggal jauh dari negara tetangga, Presiden SBY pada tanggal 21 Desember 2010 telah meresmikan pemancar siaran digital pada TVRI Batam dengan harapan masyarakat di perbatasan yang terbiasa menonton siaran negara tetangga dapat beralih ke televisi nasional. Tetapi persoalan kesenjangan ternyata bukan hanya soal kualitas audio dan gambar, melainkan juga kualitas isi siaran. Masyarakat perbatasan lebih senang menonton film kartun Singapura dan film anak-anak dari Malaysia ketimbang sinetron Indonesia. Untuk itu harus ada langkah berani untuk menjadikan masyarakat perbatasan sebagai target pemirsa dengan suguhan isi siaran sesuai kebutuhan dan budaya asli Indonesia.

Wilayah blankspot di Provinsi Kepri memang masih banyak. Radio Republik Indonesia (RRI) stasiun Tanjung Pinang dan Stasiun Batam sendiri sulit untuk menjangkau daerah-daerah perbatasan, walapun telah didirikan stasiun transmisi di beberapa kabupaten. Menurut Syahrul Razi, Kepala Seksi Pelayanan dan Usaha LPP RRI Tanjung Pinang, menurut perhitungan jangkau siaran seharusnya RRI bias menembus beberapa daerah perbatasan, tetapi ternyata siaran RRI tidak mampu memasuki wilayah perbatasan. Mungkin frekuensi siaran kita di blok oleh frekuensi negara tetangga, begitu kata Syahrul.

Lemahnya akses pemerintah menjangkau daerah perbatasan dapat berimplikasi pada gangguan aspek pancagatra, yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan negara. Dengan akses informasi yang begitu kuat dari negara tetangga akan memudahkan masuknya pemahaman ideologi yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Begitupun juga masyarakat di perbatasan lebih banyak dipengaruhi oleh kegiatan politik negara tetangga. Belum lagi jika dilihat dari aspek penyebaran budaya yang disodorkan oleh negara tetangga lewat siaran-siaran yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga terinternalisasi dalam benak masyarakat perbatasan, terutama bagi generasi muda dan anak-anak yang baru tumbuh kembang. Mengingat luasnya wilayah pulau-pulau terluar yang tidak terintegrasi dengan pola distribusi penduduk yang tidak merata menyebabkan pengawasan dan pembinaan territorial juga sulit dilakukan.

Mau tidak mau bangsa ini harus mengubah orientasi pembangunannya ke daerah-daerah perbatasan. Semua komponen bangsa diharapkan memberikan dukungan yang seluas-luasnya dan sebesar-besarnyanya pada upaya pemerintah untuk meningkatkan pembangunan infratruktur di daerah perbatasan. Satu langkah yang tepat saat ini akan disusul oleh langkah-langkah tepat berikutnya, sehingga kerawanan yang kita khawatirkan dapat berubah menjadi peluang.

Terkait

Kirim Tanggapan

Skip to content Made with passion by Vicky Ezra Imanuel