Bom Solo dan Ketahanan Masyarakat Kita

Dibaca: 1006 Oleh Thursday, 18 February 2016Opini Publik
Bom Solo dan Ketahanan Masyarakat Kita

Author :: arif budy pratama
Date :: Sel 09/27/2011 @ 08:41
Bom Solo dan Ketahanan Masyarakat Kita
Oleh
Arif Budy Pratama

Aksi teror lagi-lagi terjadi di tengah-tengah kerinduan masyarakat akan rasa aman dan tenteram dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah pada 25 September 2011 menandakan betapa terorisme sungguh merupakan ancaman riil. Pernyataan bahwa “ teroris ada didepan mata kita, ada disekitar kita” agaknya tidaklah hiperbolis, namun secara de facto ada ditengah-tengah kita.

Bom Solo dan Ketahanan Masyarakat Kita

Oleh

Arif Budy Pratama

 

Aksi teror lagi-lagi terjadi di tengah-tengah kerinduan masyarakat akan rasa aman dan tenteram dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah pada 25 September 2011 menandakan betapa terorisme sungguh merupakan ancaman riil. Pernyataan bahwa “ teroris ada didepan mata kita, ada disekitar kita” agaknya tidaklah hiperbolis, namun secara de facto ada ditengah-tengah kita. Insiden ini jelas-jelas merugikan dan merusak sendi-sendi kehidupan politik, ekonomi, budaya, sosial dan ketahanan dalam masyarakat kita. Kerugian dan kerusakan meliputi material dan non-material yang bukan hanya dirasakan sesaat pasca bom meledak, namun akan terus memberikan bekas pada korban dan lingkungan sekitarnya.

Menko Polhukam Djoko Suyanto menyebutkan dalam jumpa pers di kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Minggu (25/9/2011) bahwa ada dua korban tewas bom bunuh diri yang kemudian diralat bahwa korban tewas sebanyak satu orang yang di duga pelaku bom bunuh diri. Selain itu, 22 korban luka, 12 orang di antaranya masih dirawat di rumah sakit (3 di antaranya masih dioperasi), sedangkan 10 orang sudah kembali kembali ke rumah.

Bentuk teror berupa bom bunuh diri yang terjadi di Solo, Jawa Tengah ini merupakan bentuk radikalisme anarkis yang melahirkan paham terorisme. Sejak terjadinya serangkaian aksi teror pada tahun 2000-an, pemerintah telah menyatakan perang terhadap terorisme. Seruan dan jargon saja tidaklah cukup untuk berperang melawan radikalis-teroris melainkan perlu langkah nyata dan komprehensif.

Secara ideal kondisi aman dan tenteram, bebas dari ancaman teror hanya dapat diciptakan jika terjadi sinergitas antar komponen bangsa dalam upaya penanggulangan terorisme. Menyikapi bom Solo dan potensi aksi-aksi teror selanjutnya, kebijakan adalah instrumen negara/pemerintah dalam upaya penciptaan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.

Kebijakan Strategis dan Taktis

Berbicara mengenai upaya penanggulangan terorisme, perlu langkah-langkah strategis untuk menghambat persebaran, infiltrasi dan penanaman paham radikalisme anarkis dalam masyarakat kita. Langkah yang diharapkan bukanlah langkah reaktif-kuratif, melainkan lebih pada langkah yang sifatnya proaktif-preventif. Negara diharapkan mampu mencegah terjadinya teror daripada melakukan tindakan setelah aksi teror terjadi. Dalam tataran strategis ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk menanggulangi terorisme.

Pertama, memantabkan payung hukum penanggulangan terorisme. Singapura dan Malaysia relative efektif dalam menanggulangi teror karena mempunyai National Security Act. Undang-undang ini memberikan dasar hukum yang kuat kepada aparat keamanan untuk mengambil langkah-langkah dalam menanggulangi radikalisme-terorisme. Memang ada kecemasan bahwa undang-undang semacam itu akan membawa pada praktik represif seperti pengalaman bangsa Indonesia masa lalu. Namun demikian, distorsi dari implementasi undang-undang ini dapat dihindari dengan menetapkan rambu-rambu yang tegas dalam pelaksanaannya. Dengan adanya Undang-Undang semacam National Security Act  diharapkan menjadi pijakan bagi revisi Undang-undang yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara termasuk Undang-Undang Terorisme.

Kedua, perlu adanya grand design nasional penanggulangan terorisme di Indonesia. Dengan adanya grand design ini akan menjadi pedoman bagi instansi-instansi pemerintah terkait penanggulangan terorisme dengan Badan Nasional Penangulangan Terorisme (BNPT) sebagai vocal point. Karena terorisme adalah bentuk konkret dari radikalisme anarkis, selanjutnya perlu kebijakan komprehensif deradikalisasi dalam upaya menanggulangi bahaya terorisme. BNPT menjadi instansi utama dalam rangka mengimplementasikan kebijakan deradikalisasi. Deradikalisasi dapat diartikan sebagai upaya melenyapkan, menghilangkan atau menghapus segala tindakan radikal (cenderung anarkhis dan destruktif). Dalam kasus Indonesia, terorisme selalu dikaitkan dengan pemahaman radikal dalam menjalankan ajaran agama Islam (Jihad). Maka dari itu, program deradikalisasi diarahkan pada pelurusan pemahaman dalam menjalankan ajaran Islam.

Disamping kebijakan strategis, pemerintah perlu menjalankan kebijakan taktis. Kebijakan taktis ini mengarah pada langkah konkret yang diberlakukan dalam masyarakat. Dalam hal ini saya kira perlu menggalang dan mengimlementasikan kembali sistem pengamanan swakarsa. Pengamanan swakarsa ini terbukti secara efektif meminimalisir tindakan kriminal. Pengamanan swakarsa juga menunjuk pengamanan mandiri oleh anggota masyarakat sehingga ada semangat self belongingdalam menjaga lingkungan masing-masing. Sistem ini juga diarahkan pada kerjasama masyarakat dengan aparat keamanan dalam menjaga keamanan lingkungan.

Early Warning System (EWS) dan Ketahanan Masyarakat

Aksi bom bunuh diri di GBIS Solo, merupakan bukti nyata bahwa kewaspadaan dini kita belumlah bagus dalam rangka menangkal tindakan teror. Masyarakat kita perlu menciptakan kondisi kewaspadaan dini dalam penanggulangan terorisme (early warning system/EWS). Substansi dari EWS adalah penciptaan ketahanan masyarakat dalam menjaga lingkungan masing-masing dari bahaya radikalisme dan terorisme. Ketahanan masyarakat adalah daya tahan masyarakat untuk menangkal segala potensi ancaman yang menganggu stabilitas. Ketahanan masyarakat ini dibentuk melalui proses membentuk kerukunan, kekompakan, toleransi, kesadaran pluralisme dan komitmen masyarakat dalam suatu lingkungan untuk menjaga lingkungan. Dengan adanya ketahanan masyarakat yang kuat, maka akan terwujud EWS yang mampu mendeteksi ancaman teror dalam masyarakat kita.

Arif Budy Pratama

Alumni Pasca Sarjana Kajian Stratejik Ketahanan Nasional (Beasiswa Kemenpora)

Universitas Indonesia

Terkait

Kirim Tanggapan

Skip to content Made with passion by Vicky Ezra Imanuel