Deputi VI/Bidkor Kesbang : Perlu Pemahaman Kewaspadaan Dini Hadapi Ancaman Non Militer

Dibaca: 425 Oleh Friday, 3 May 2019Berita
Whatsapp Image 2019 05 02 At 09.50.27

Polhukam, Tarakan – Indonesia merupakan negara besar yang masih banyak menghadapi ancaman. Namun kini ancaman tersebut berubah dari yang sebelumnya bersifat tradisional (invasi militer) menjadi ancaman baru (non militer) yang berasal dari luar, kombinasi luar dan dalam, serta dari dalam negeri, diantaranya narkoba, berita bohong atau hoax, dan politisasi SARA.

“Untuk menghadapi itu, kita perlu memiliki pemahaman kewaspadaan dini,” kata Deputi Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam Arief P. Moekiyat dalam Forum Koordinasi dan Sinkronisasi Kewaspadaan Nasional di Tarakan, Kalimantan Utara, Kamis (2/5/2019).

Dalam hal peningkatan Kewaspadaan Dini, Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri Nomor 2 Tahun 2018 tentang Kewaspadaan Dini di Daerah, yang digunakan sebagai pedoman bagi para stakeholder terkait di daerah untuk dapat meningkatkan kewaspadaan dini di daerah guna menciptakan stabilitas keamanan wilayah melalui deteksi dan cegah dini.

“Saat ini Indonesia sedang menghadapi berbagai ancaman, antara lain masalah narkoba yang telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar utama narkoba di Asia. Berdasarkan data dari BNN, narkoba mengakibatkan rata-rata setiap hari sebanyak 30 rakyat Indonesia yang kebanyakan terdiri dari usia muda meninggal dunia,” kata Arief.

Selain itu, saat ini bangsa Indonesia juga tengah menghadapi ancaman peredaran berita bohong atau hoax yang beroperasi secara virtual di media sosial dan mampu mempengaruhi pikiran manusia (opini) secara massal dengan hal-hal provokatif memicu konflik.

“Berdasarkan data yang dirilis oleh Mastel tahun 2018 dinyatakan bahwa 90,30 persen berita hoax sengaja dibuat untuk memprovokasi masyarakat yang berpotensi mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa,” kata Arief.

Menurutnya, ancaman tersebut bisa dicegah, jika rasa memiliki terhadap bangsa dan negara ini tinggi. Namun diakui bahwa pemahaman masyarakat terhadap bela negara masih lemah.

“Rasa memiliki terhadap bangsa ini masih lemah. Ibarat orang pacaran, dia mengenal dulu, setelah itu baru bisa mencintai. Setelah mencintai maka dia akan menyayangi dan memiliki, serta akan membela. Pembelaan negara saat ini dipandang belum optimal, karena itu pentingnya seluruh komponen bangsa bergerak dan tergerak untuk bela negara sebagai wujud nyata implementasi INPRES Nomor 7 Tahun 2018 tentang RAN Bela Negara Tahun 2018-2019,” kata Arief.

Wakil Gubernur Kalimantan Utara, H. Udin Hianggio mengatakan bahwa pelaksanaan Pilpres dan Pilleg Tahun 2019 di Provinsi Kalimantan Utara berjalan dengan aman, damai dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kalimantan Utara sendiri merupakan provinsi yang jumlah pemilihnya paling sedikit, yakni sekitar 400.000-an orang.

“Masalah yang perlu menjadi catatan kita setelah hoax dan sebagainya, utamanya masalah narkoba, karena panjang perbatasan lebih dari seribu km dan jalur-jalur tikus sekitar 1.000 titik, perlu menjadi perhatian dan petimbangan kita. Semoga jadi bahan kajian dari TNI dan Polri. Masalah utama bagaimana mengatasi narkoba untuk generasi penerus kita,” katanya.

Sementara itu, Kepala BNNP Kalimantan Utara Brigjen Pol Ery Nursatari mengatakan, desa sudah menjadi wilayah strategis untuk jalur penyelundupan dan peredaran gelap narkoba, terutama desa yang berbatasan dengan perbatasan negara dan pesisir pantai, kerena menjadi target sasaran para bandar narkoba. Setidaknya, ada 654 desa dalam kategori rawan narkoba.

“Strategi kami, yakni membentuk relawan anti narkoba yang bertujuan untuk menggerakkan masyarakat desa agar dapat berperan aktif dalam upaya P4GN serta menjadi agen pemulihan,” katanya.

Biro  Hukum, Persidangan dan Hubungan Kelembagaan
Kementerian Koordinator  Bidang Politik, Hukum dan Keamanan

Terkait

Kirim Tanggapan

Skip to content Made with passion by Vicky Ezra Imanuel