BOM BUNUH DIRI DI GBIS KEPUNTON, SOLO

Dibaca: 2023 Oleh Thursday, 18 February 2016Opini Publik
BOM BUNUH DIRI DI GBIS KEPUNTON, SOLO

Author :: Ida Otnas
Date :: Sen 09/26/2011 @ 03:39
Bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah, menewaskan seorang pelaku dan puluhan luka-luka. Dari keterangan saksi yang dimintai keterangan oleh Kepolisian, pelaku sempat berada di antara jemaah di dalam Gereja.Pelaku juga keluar dengan jemaah lainnya seusai ibadah. Pelaku yang menggunakan baju putih dengan celana hitam serta sepatu kets ini, turut keluar. Pelaku berada diantara sebagian jemaah yang keluar belakangan tersebut.Saat berada di depan pintu keluar itulah, pelaku meledakkan bom yang berdaya ledak rendah tersebut. Di pintu utama pelaku meledakkan bom, sehingga menjadi korban. Jumlah korban bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton hingga hari Minggu 25 September 2011, pukul 18.00 WIB, jumlah korban yang diperoleh Rumah Sakit Dokter Oen berjumlah 24 orang, baik yang menjalani rawat inap dan rawat jalan. Menurut petugas medis di UGD RS Dokter Oen, Dokter Rudi Handoyo, para korban yang menjalani rawat jalan kebanyakan menderita trauma akustik akibat bunyi ledakan yang cukup keras. Sementara tiga orang mengalami luka serius dan harus menjalani operasi untuk mengeluarkan bekas serpihan yang ada di bagian tubuh korban. Sejauh ini RS Dr Oen sudah mengoperasi tujuh korban. Pihak rumah sakit juga memastikan korban tewas hanya seorang, yakni pria yang diduga sebagai pelaku bom bunuh diri. Pelaku yang diduga adalah anggota dari jaringan teroris Cirebon. Dugaan itu menguatkan fakta bahwa sel terorisme di Jawa masih bertumbuh kuat dan kian menyebar.

Analisis

Aksi bom Solo mengindikasikan adanya upaya kapitalisasi atas terorisme itu melakukan penyerangan terhadap gereja untuk mengejutkan dan menimbulkan adu domba antar-ummat beragama. Operasi Densus 88 di kawasan Cawang, Cikampek dan Sukohardjo, Solo mengindikasikan masih kuatnya penyebaran jaringan terorisme di Jawa. Terorisme masih tumbuh subur dan seringkali memanfaatkan sarana pengajian di mesjid-mesjid.Operasi teroris di tiga daerah itu menunjukkan jaringan masih kuat dan tersebar di berbagai tempat di Pulau Jawa. Hal ini karena teroris menggunakan berbagai cara termasuk mendayagunakan mesjid sebagai sarana membangun radikalisme.”Jaringan terorisme masih kuat di kawasan Jawa Barat, Jabotabek, Jawa Tengah dan Jatim karena sel-sel mereka mendayagunakan masjid dan pengajian serta pola kekerabatan untuk membentuk gerakan radikal.Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa hampir separuh dari 33 provinsi yang ada Indonesia sekarang menjadi kantong penyebaran ideologi “terorisme”.“Pemetaan tersebut diperoleh berdasarkan pantauan yang dilakukan sejak beberapa tahun terakhir. Kantong-kantong tersebut merupakan daerah rawan penyebaran ideologi teroris.Pusat aktivitas penyebaran “ideologi terorisme” itu ada di sejumlah kota besar di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Di Pulau Sumatera, daerah yang rawan penyebarannya adalah di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung.Dalam kaitan Solo. Hasil riset lapangan tim peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di sepuluh masjid di Solo menunjukkan dalam derajat yang beragam. Kelompok teroris yang mengklaim sebagai Islam radikal telah menggunakan tempat ibadah sebagai kendaraan bagi penyebaran ideologinya. Pandangan itu dikemukakan Mohamad Nabil, peneliti CSRC (Centre for the Study of Religion and Culture) UIN Jakarta, kemarin. Menurutnya, level intensitas yang tinggi dari radikalisasi terlihat sejumlah masjid yang berafiliasi dengan ormas tertentu. “Namun radikalisasi juga cukup tinggi di masjid terbuka dan tidak berafiliasi dengan ormas tertentu ( Nabil, periset Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina). Sementara masjid-masjid umum lainnya yang diteliti juga memperlihatkan anasir-anasir ideologi Islam radikal dengan level intensitas yang lebih rendah. Cukup sulit memberantas terorisme apalagi bibit-bibitnya di Indonesia sehingga perlu penanganan serius dan terpadu berbagai pihak. Instruksi dan harapan Presiden agar jajaran intelejen, komando teritorial dan Polri untuk aktif lakukan pencegahan antar komunal dan kekerasan. Sampai saat ini belum adanya petunjuk konkrit integrasi penanganan terorisme oleh TNI dan Polri, walaupun sudah adanya BNPT dan jauh-jauh hari sebenarnya DKPT pun sudah mengeluarkan Buku Petunjuk Operasional tentang Penanganan Terorisme dan Radikalisme. Pertukaran informasi tentang terorisme antara badan intelejen TNI dan Baintelkam Polri maupun Densus 88 perlu segera dikonkritkan. Alasan bahwa nanti terjadi kebocoran data intelejen Polri/Densus 88 dalam pengejaran teroris atau kelompok radikalis perlu dihilangkan. Ketidak percayaan antar badan intelejen sangat merugikan dalam upaya penumpasan terorisme dan radikalisme. Hal ini tentu tidak sejalan dengan harapan Presiden. Demikian juga untuk eksekusi terhadap tindak terorisme juga bisa diatur seperti saat ini, kapan TNI harus turun kelapangan (Don Muang & Somalia). Seperti halnya pernyataan presiden tindakan diatas merupakan tindakan pelibatan intelejen dan teritorial TNI adalah tindakan preventif , bukan represif. Presiden mengingatkan masih adanya tindakan-tindakan yang proaktif dianggap represif, dan itu semua bisa dipertanggungjawabkan. Siapapun yang bertindak harus dicegah yang lakukan terorisme apapun agamanya, etnisnya, siapa dibelakang mereka.

Terkait

Kirim Tanggapan

Skip to content Made with passion by Vicky Ezra Imanuel