Problematika Pendanaan Partai Politik dan Politik Berbiaya Mahal Mendorong Munculnya Politik Transaksional

Dibaca: 3070 Oleh Thursday, 18 August 2022Berita
IMG 20220818 WA0032

SIARAN PERS No: 119/SP/HM.01.02/POLHUKAM/8/2022

Polhukam, Bogor – Pada tahun 2024 mendatang, Indonesia akan meyelenggarakan Pemilihan Umum, Pemilihan Kepala Daerah, dan Pemilihan Legislatif yang penyelenggaraannya dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Namun, proses terseleggaranya Pemilu, Pilkada, dan Pileg tersebut menyimpan problematika tersendiri, mulai dari pendanaan partai politik, pelaksanaan pemilihan berbiaya mahal, hingga politik transaksional.

Hal tersebut disampaikan oleh Staf Ahli Menko Polhukam Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Asmarni, S.E., M.M., saat memimpin Rapat Koordinasi dengan agenda pembahasan “Problematika Pendanaan Partai Politik dan Politik Berbiaya Mahal Mendorong Munculnya Politik Transaksional Bidang Sumber Daya Alam Dalam Proses Pesta Demokrasi” di Bogor, Jawa Barat, Kamis (18/8/2022).

“Problematika pendanaan partai politik diawali karena tiga sumber dana parpol sesuai Pasal 34 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011, yakni iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari APBN/APBD tidak berjalan optimal dan belum memenuhi standar ideal,” kata Asmarni.

Sehingga, lanjutnya, sumber dana tersebut tidak dapat menutup kebutuhan minimum pendanaan partai dan sulit diharapkannya sumber dana legal bagi partai politik.

Sementara itu, Plt. Direktur Politik, Hukum, dan Keamanan Kedeputian Kebijakan BRIN, Moch. Nurhasim mengatakan, bantuan keuangan partai politik terlalu terfokus kepada pendidikan politik sehingga menyulitkan partai dalam mengembangkan kegiatan/program yang berbasis kinerja.

“Ukuran standar juga belum disesuaikan dengan kebutuhan partai karena masih menggunakan ukuran kebutuhan pemerintah, dan pola reimbursement menyebabkan tujuan pemberian dana bantuan parpol ini kurang sesuai dengan tujuan awal,” ungkap Nurhasim.

Problematika Pendanaan Dapat Menciptakan Politik Transaksional

Dalam paparannya, Asmarni mengatakan bahwa pembiaran kondisi pendanaan partai politik yang kritis dan berkepanjangan sama dengan membiarkan uang negara, sumber daya alam, dan kewenangan lainnya dalam posisi lingkaran politik transaksional dan korupsi yang merugikan keuangan negara.

Politik transaksional di Indonesia sendiri marak terjadi di sektor sumber daya alam karena memiliki nilai yang sangat strategis sehingga para elit politik melakukan politik transaksional dengan para oligarki di bidang SDA.

“Politik transaksional merupakan politik timbal balik, dimana setelah calon legislatif maupun eksekutif di tingkat pusat dan daerah memenangkan Pemilu atau Pilkada, maka mereka membalas jasa kepada para oligarki pemberi dana dengan mengeluarkan kebijakan, regulasi, dan perizinan yang menguntungkan oligarki, namun merugikan keuangan negara,” jelas Asmarni.

Berdasarkan hasil penelitian tim Koordinasi dan Supervisi (korsup) KPK pada tahun 2017, ditemukan banyak perizinan yang bermasalah karena dikeluarkan tidak sesuai prosedur dan terdapat indikasi korupsi dalam proses pengeluaran perizinan.

Hal tersebut diperkuat dari 10.348 Izin Usaha Pertambangan (IUP) terdapat 3.982 IUP yang bermasalah dengan status Non Clean and Clear (Non-CnC) dan terdapat tumpang tindih perizinan pertambangan batu bara yang menempati kawasan hutan lindung seluas 4,9 juta ha dan kawasan hutan konservasi seluas 1,4 juta ha.

Pada Tahun 2009 – 2020, KPK telah menangani korupsi dibidang SDA sebanyak 27 kasus. Rata-rata kasus korupsi bidang SDA ada pada sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan, dan perikanan. “Kondisi ini apabila tidak segera ditangani dengan cepat dan tepat akan menjadi permasalahan bagi pemerintah,” ungkap Asmarni.

Humas Kemenko Polhukam RI

Terkait

Kirim Tanggapan

Skip to content Made with passion by Vicky Ezra Imanuel