Memulai Rekonsiliasi Dari Diri Sendiri

Dibaca: 594 Oleh Wednesday, 20 April 2016Opini Publik
Memulai Rekonsiliasi Dari Diri Sendiri

Author :: Galuh Pangestu

Date :: 20/04/2016 @13.27

Ayah saya dibunuh pada satu Oktober, itu tidak masalah bagi saya siapa yang membunuh, itu soal politik. Apakah betul saya maafkan, rasanya tidak bisa, tapi saya mengikhlaskan itu terjadi. Saya ingin tahu siapa yang membunuh ayah saya, tapi saya tidak ingin berkutat di situ.”

Sebuah pengakuan jujur terungkap lirih dari seorang Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Agus Widjojo, yang juga merupakan Ketua Panitia Simposium Tragedi 65 yang digelar di hotel Arya Duta pada 18 dan 19 April kemarin. Saat mengungkapkan perasaan terdalamnya atas tragedi 65, ia terdengar tabah meski masih berselimut duka.

Gubernur Lemhanas itu menembus relung pribadinya di muka publik ketika memberikan paparan mengenai usulan rekonsiliasi. Rekonsiliasi merupakan upaya alternatif yang menjadi pilihan dalam kotak non judicial untuk penyelesaian tragedi 65. Menurut sang Gubernur, rekonsiliasi dalam politik seperti security dilemma. Semua pihak yang bertentangan perlu membangun rasa percaya, atau trust building, untuk rekonsiliasi.

Ia kemudian menjelaskan lebih lanjut, ketika harus memaparkan konsep rekonsiliasi seperti apa yang paling pas untuk peristiwa tragedi 65, maka ia merenungkan sejenak, konsep rekonsiliasi apakah yang dianggap terbaik untuk mengakomodir cita-cita dan resolusi orang-orang yang telah terdampak oleh peristiwa tersebut. Apakah model asing, atau membuat model sendiri?

Anak dari pahlawan revolusi Mayor Jenderal Purnawirawan Sutoyo Siswohardjo pun kemudian mendapatkan sebuah jawaban atas pertanyaan soal konsep rekonsiliasi. Melalui proses kontemplasi semi akademik, ia pun percaya bahwa rekonsiliasi harus dimulai dari diri sendiri. “Jika belum berdamai dengan diri sendiri maka nantinya akan merusak rekonsiliasi nasional” ujarnya.

Menurut Agus, jika masih berkutat untuk menuntut keadilan, tanpa sadar, proses rekonsiliasi akan masuk kedalam pembuktian pengadilan, atau pro justicia. “Kita berbicara tentang rekonsiliasi tapi instrumentnya pengadilan” tegasnya. Ia kemudian mendefinisikan rekonsiliasi sebagai proses mencairkan batas-batas pemikiran dalam masyarakat yang merujuk pada peristiwa nasional masa lalu, untuk meninggalkan dendam serta pandangan yang terkotak-kotak.

Konsep yang ia tawarkan kemudian berupa proses yang terbangun dari beberapa tahapan, yakni pengungkapan kebenaran, yang akan merujuk pada proses keadilan, reparasi dan sanksi, serta reformasi kelembagaan. Terakhir diharapkan dari rangkaian proses rekonsiliasi tersebut, semua subjek warga negara yang terdampak atas tragedi 65 akan mampu pulih harkat dan martabatnya sebagai manusia dalam masyarakat baru Indonesia. Terakhir, kisah yang ingin dilukiskan dari rekonsiliasi adalah sebuah proses perjalanan anak manusia yang hidup dengan penuh luka, namun akhirnya mereka berdamai dengan masa lalu, meski mereka tidak akan pernah lupa.

Terkait

Kirim Tanggapan

Skip to content Made with passion by Vicky Ezra Imanuel