Pemerintah Akan Keluarkan Peraturan Bersama Cegah Pendanaan Senjata Pemusnahan Massal

Dibaca: 267 Oleh Monday, 3 April 2017Berita
Rakor Pelaksanaan Pembinaan Bela Negara

JAKARTA – Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan melaksanakan rapat koordinasi terbatas tingkat menteri yang membahas peraturan untuk mencegah pendanaan proliferasi atau pertumbuhan senjata pemusnah massal.

Saat ini Indonesia belum memiliki aturan mengenai pencegahan pendanaan senjata pemusnah massal, untuk memenuhi standar internasional dalam memerangi Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (TPPU/TPPT).

“Kita belum memiliki pengaturan mengenai freezing without delay bagi negara yang terkena financial sanctions (sanksi ekonomi) terkait Proliferasi senjata pemusnah massal oleh PBB,” kata Menko Polhukam di Jakarta, Senin (3/4).

Untuk itu, Rakortas menyimpulkan untuk segera menyusun Peraturan Bersama tentang Pemblokiran Serta Merta terhadap Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnahan Massal. Penyusunan ini melibatkan Kementerian Luar Negeri, Kepolisian, Bapeten, dan PPATK.

Rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) mengharuskan setiap negara untuk melakukan freezing without delay atau pembekuan terhadap asset orang-orang yang terlibat dalam pendanaan senjata pemusnah massal. Bagi negara yang lalai terhadap pembekuan aset tersebut, maka dapat terkena sanksi ekonomi oleh PBB. Sejak tahun 2006, PBB telah menjatuhkan sanksi ekonomi terkait Proliferasi senjata pemusnahan massal, semisal pada Korea Utara yang tidak melakukan pembekuan aset pada warga negaranya yang termonitor terlibat dalam pendanaan senjata pemusnahan massal.

PBB secara rutin mengeluarkan daftar yang memuat individu dan entitas terkait dengan Proliferasi senjata pemusnah massal, dan Indonesia harus menunaikan tanggung jawabnya membekukan aset secara langsung jika ada daftar WNI masuk dalam daftar pendana senjata pemusnah massal yang dikeluarkan PBB.

“PPATK akan bertugas untuk memfasilitasi penyusunan dan pembahasan Peraturan Bersama tersebut. Penandatanganan Peraturan Bersama ini ditargetkan akan dilaksanakan pada 17 April 2017,” kata Menko Polhukam Wiranto.

“Indonesia dituntut untuk memenuhi dan mengimplementasikan standar internasional di bidang TPPU dan TPPT yang tertuang dalam 40 Rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Indonesia harus menjalani Mutual Evaluation Review (MER) yang dijadwalkan pada November 2017,” kata Menko Polhukam Wiranto.

Sementara itu, lanjutnya, posisi Indonesia pada Juni 2017 akan mengajukan sebagai anggota FATF, dan MER sendiri merupakan prasyarat penting keanggotaan Indonesia.

Sebelumnya, negara-negara kelompok G-7 menyepakati dibentuknya FATF sebagai gugus tugas menyusun rekomendasi internasional memerangi Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (TPPU/TPPT). FATF merupakan badan/ organisasi antar pemerintah sekaligus badan yang menghasilkan kebijakan dan berisikan para pakar di bidang hukum, keuangan dan penegakan hukum.

Menko Polhukam, Wiranto juga menjelaskan latar belakang mengenai Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal ini berawal dari United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic Substances 1988 (Vienna Convention 1988), dipandang sebagai tonggak sejarah dan titik puncak dari perhatian masyarakat internasional untuk menetapkan rezim hukum internasional anti pencucian uang.

Hadir dalam Rakortas tersebut Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin, perwakilan dari Kepolisian, perwakilan dari Bapeten, dan perwakilan dari instansi terkait.

Humas Kemenko Polhukam

Terkait

Kirim Tanggapan

Skip to content Made with passion by Vicky Ezra Imanuel