Menko Polhukam Apresiasi FGD DRC FHUI Terkait Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM yang Berat

Dibaca: 33 Oleh Tuesday, 26 October 2021November 9th, 2021Menko Polhukam, Berita
248279712 201851972085567 4920389434532278424 n
SIARAN PERS NO. 170/SP/HM.01.02/POLHUKAM/10/2021
Polhukam, Depok – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Moh. Mahfud MD mengapresiasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, khususnya Djokosoetono Research Center (DRC) yang telah menyelenggarakan Forum Group Discussion yang bertujuan menemukan solusi penyelesaian berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat. Menko berharap hasil kesimpulan FGD ini dapat menjadi rekomendasi strategis dan applicable.
Demikian pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD dalam kegiatan FGD bertema “Solusi Penyelesaian Kasus Dugaan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat yang Masih Dalam Tahap Penyelidikan” di Auditorium Djokosoetono, FHUI, Depok, Selasa (26/10/2021).
Menko Polhukam menyampaikan bahwa saat ini ada sebanyak 13 kasus dugaan Pelanggaran HAM yang berat yang belum tuntas penyelesaiannya. Padahal ada beberapa kasus yang penyelidikannya sudah dimulai sejak kurang lebih 20 tahun yang lalu, namun sampai sekarang penanganannya masih bolak balik di tahap pemberian petunjuk dari penyidik (Kejaksaan) kepada penyelidik (Komnas HAM) sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kasus-kasus tersebut menjadi dua kategori, yaitu pertama ada 9 peristiwa HAM berat masa lalu yakni Peristiwa 1965/1967, Peristiwa Penembakan Misterius 1982/1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1998/1999, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1999, Peristiwa Singpang KKA Tahun 1999, Peristiwa Romah Goedong Tahun 1989-1998, dan Peristiwa Dukun Santet, Ninja dan Orang Gila di Banyuwangi Tahun 1998-1999. Dan yang kedua, ada 4 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah diberlakukannya UU Pengadilan HAM yaitu Peristiwa Jamboe Keupok Tahun 2003, Peristiwa Wasior Tahun 2001, Peristiwa Wamena Tahun 2003, dan Peristiwa Paniai Tahun 2014.
“Secara umum, penyelesaian secara yudisial menyisakan berbagai permasalahan pembuktian yang tidak mudah, baik dalam penentuan pelakunya yaitu pelaku lapangan maupun komandan atau atasan yang bertanggungjawab maupun pembuktian atas unsur-unsur perbuatan pelanggaran HAM yang berat,” kata Menko Polhukam Mahfud MD.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menjelaskan, sistem pembuktian yang berlaku di Indonesia yaitu “Negatief Wettelijk Stesel” sebagaimana yang disyaratkan dalam Pasal 183 KUHP yang mensyaratkan terpenuhinya minimal 2 alat bukti yang sah dan keyakinan hakim dalam menjatuhkan pidana pada pelaku.
“Menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya secara maksimal atau optimal,” kata Menko Polhukam Mahfud MD.
Menurut Menko Mahfud, paradigma yang berkembang di masyarakat yang sebagian besar meyakini ke 13 kasus tersebut sebagai peristiwa Pelanggaran HAM yang berat seakan-akan mengekstentifikasi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP, yang menyebutkan bahwa hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan atau yang biasa disebut dengan “notoire feiten notorious” (generaly known) juga harus disikapi dan dengan cara yang bijak, benar dan berkeadilan.
“Oleh karena itu, kesimpulan dalam FGD ini diharapkan dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara independen sesuai norma hukum yang berlaku, serta selaras dengan komitmen kita bersama untuk senantiasa melakukan pemajuan dan penghormatan dan perlindungan HAM sebagaimana Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM,” ujar Menko Polhukam Mahfud MD.
Humas Kemenko Polhukam RI

Terkait

Kirim Tanggapan

Skip to content Made with passion by Vicky Ezra Imanuel