Menko Polhukam: Amandemen Konstitusi adalah Kewenangan MPR

b1

SIARAN PERS No. 133/SP/HM.01.02/POLHUKAM/8/2021

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa amandemen UUD adalah kewenangan MPR, pemerintah tidak mengatakan setuju atau tidak, karena tidak punya kewenangan.

“Resminya pemerintah tidak bisa mengatakan setuju perubahan atau tidak setuju perubahan. Pemerintah dalam hal ini hanya akan menyediakan lapangan politiknya. Silakan sampaikan ke MPR/DPR, kita jaga, kita amankan. Itu tugas pemerintah. Adapun substansi mau mengubah atau tidak itu adalah keputusan politik, lembaga politik yang berwenang,” ujar Menko.

Demikian disampaikan Menko Polhukam dalam keynote speech di acara Diskusi Konstitusi yang diselenggarakan oleh Integrity Lawfirm, yang mengambil tema “Urgensi Amandemen Konstitusi di tengah Pandemi: Untuk Kepentingan Siapa?” yang berlangsung secara daring pada Kamis (26/8).

Pembicara pada diskusi ini antara lain: Wakil Ketua MPR, Arsul Sani, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Senior Partner Integrity Law Firm, Denny Indrayana, Ketua PSIK Indonesia, Yudi Latief dan Akademisi STHI Jentera, Bivitri Susanti.

Mantan Ketua MK itu memaparkan, bahwa perubahan konstitusi merupakan wewenang dari MPR yang mewakili seluruh rakyat, yang kaki-kaki kelembagaannya ada di DPR, Partai politik, DPD, dan lain-lain. Sehingga berbagai kekuatan atau aspirasi di dalam masyarakat tentunya disalurkan disalurkan ke dalam kaki-kaki kelembagaan yang disediakan oleh konstitusi itu.

Menurut Mahfud, adapun pemerintah tidak ikut campur. Pemerintah tidak menyatakan setuju atau tidak setuju, karena sebenarnya perubahan itu tidak perlu persetujuan pemerintah.

Namun Guru Besar Hukum Tata Negara ini menggaris bawahi, karena konstitusi itu adalah produk resultante politik, maka di dalam sepanjang sejarah Indonesia tidak ada, hampir tidak ada, sebuah produk konstitusi itu yang selalu dianggap bagus. Begitu dilahirkan langsung dikiritk bahwa ini salah.

“Konstitusi itu resultante, produk kesepakatan berdasar situasi sosial politik ekonomi dan budaya pada saat di buat. Mungkin sekarang sudah ada perubahan sosial politik ekonomi dan budaya sehingga perlu berdiskusi lagi untuk mempersoalkan. Saya kira itu bukan wewenang pemerintah. Tetapi akademisi boleh membahas itu, baik dan buruknya, tidak dilarang,” ujar Mahfud. (*)

Terkait

Kirim Tanggapan

Skip to content Made with passion by Vicky Ezra Imanuel