Susilo Bambang Yudhoyono

Dibaca: 4625 Oleh Wednesday, 23 August 2000May 15th, 2019Menko Polhukam
Susilo Bambang Yudhoyono

Nama : Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono
Lahir : Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949
Agama : Islam
Istri : Kristiani Herawati,
putri ketiga almarhum Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo
Anak :
Agus Harimurti Yudhoyono dan
Edhie Baskoro Yudhoyono
Ayah: Letnan Satu (Peltu) R. Soekotji
Ibu: Sitti Habibah
Pangkat terakhir :
Jenderal TNI (25 September 2000)
Pendidikan:
= Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973
= American Language Course, Lackland, Texas AS, 1976
= Airbone and Ranger Course, Fort Benning , AS, 1976
= Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983
= On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983
= Jungle Warfare School, Panama, 1983
= Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984
= Kursus Komando Batalyon, 1985
= Sekolah Komando Angkatan Darat, 1988-1989
= Command and General Staff College, Fort = Leavenwort,Kansas, AS
Master of Art (MA) dari Management Webster University, Missouri, AS
Karier:
– Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (1974-1976)
– Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad (1976-1977)
– Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977)
– Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978)
– Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981)
– Paban Muda Sops SUAD (1981-1982)
– Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
– Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988)
– Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988)
– Dosen Seskoad (1989-1992)
– Korspri Pangab (1993)
– Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994)
– Asops Kodam Jaya (1994-1995)
– Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995)
– Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (sejak awal
November 1995)
– Kasdam Jaya (1996-hanya lima bulan)
– Pangdam II/Sriwijaya (1996-) sekaligus Ketua Bakorstanasda
– Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998)
– Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI (1998-1999)
– Mentamben (sejak 26 Oktober 1999)
– Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid)
– Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri) mengundurkan diri 11 Maret
2004
Penugasan:
Operasi Timor Timur (1979-1980), dan 1986-1988
Penghargaan:
– Adi Makayasa (lulusan terbaik Akabri 1973)
– Honorour Graduated IOAC, USA, 1983
– Tokoh Berbahasa Lisan Terbaik, 2003.
Alamat :
Jl. Alternatif Cibubur Puri Cikeas Indah
No. 2 Desa Nagrag Kec. Gunung Putri Bogor-16967
Presiden RI Pertama Pilihan Rakyat
Ini dia Presiden Republik Indonesia pertama hasil pilihan rakyat secara langsung. Lulusan terbaik
Akabri (1973) yang akrab disapa SBY dan dijuluki ‘Jenderal yang Berpikir’, ini berenampilan
tenang, berwibawa serta bertutur kata bermakna dan sistematis. Dia menyerap aspirasi dan
suara hati nurani rakyat yang menginginkan perubahan yang menjadi kunci kemenangannya
dalam Pemilu Presiden putaran II 20 September 2004.
Berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden, paduan dwitunggal ini
menawarkan program memberikan rasa aman, adil dan sejahtera kepada rakyat. Pasangan ini
meraih suara mayoritas rakyat Indonesia (hitungan sementara 61 persen), mengungguli
pasangan Megawati Soekarnoputri – KH Hasyim Muzadi.
Popularitas dengan enampilan yang tenang dan berwibawa serta tutur kata yang bermakna dan
sistematis telah mengantarkan SBY pada posisi puncak kepemimpinan nasional. Penampilan
publiknya mulai menonjol sejak menjabat Kepala Staf Teritorial ABRI (1998-1999) dan semakin
berkibar saat menjabat Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid) dan
Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri).
Ketika reformasi mulai bergulir, SBY masih menjabat Kaster ABRI. Pada awal reformasi itu, TNI
dihujat habis-habisan. Pada saat itu, sosok SBY semakin menonjol sebagai seorang Jenderal
yang Berpikir. Ia memahami pikiran yang berkembang di masyarakat dan tidak membela secara
buta institusinya. “Penghujatan terhadap TNI itu menurut saya tak lepas dari format politik Orde
Baru dan peran ABRI waktu itu,” katanya. Maka, Tokoh Indonesia DotCom menjulukinya sebagai
‘mutiara di atas lumpur’.
Banyak orang mulai tertarik pada sosok militer yang satu ini. Pada saat institusi TNI dan oknumoknum
militernya dibenci dan dihujat, sosok SBY malah mencuat bagai butiran permata di atas
lumpur. (Hampir sama dengan pengalaman Jenderal Soeharto, ketika enam jenderal TNI diculik
dalam peristiwa G-30-S/PKI, ‘the smiling jeneral’ itu berhasil tampil sebagai ‘penyelamat negeri’
dan memimpin republik selama 32 tahun. Sayang, kemudian jenderal berbintang lima ini terjebak
dalam budaya feodalistik dan kepemimpinan militeristik. Pengalaman Pak Harto ini, tentulah
berguna sebagai guru yang terbaik bagi pemimpin nasional negeri ini).
Lulusan Terbaik
Siapakah Susilo Bambang Yudhoyono yang berhasil meraih pilihan suara hati nurani rakyat pada
era reformasi dan demokratisasi itu?
Pensiunan jenderal berbintang empat berwajah tampan dan cerdas, ini adalah anak tunggal dari
pasangan R. Soekotji dan Sitti Habibah. Darah prajurit menurun dari ayahnya R. Soekotji yang
pensiun sebagai Letnan Satu (Peltu). Sementara ibunya, Sitti Habibah, putri salah seorang
pendiri Ponpes Tremas, mendorongnya menjadi seorang penganut agama Islam yang taat.
Dalam dirinya pun mengalir kental jiwa militer yang relijius.
Selain itu, lulusan terbaik Akademi Militer (Akmil) angkatan 1973, ini juga memiliki garis darah
biru, sebagai keturunan bangsawan Jawa yang mengalir dari dua arah dan berujung pada
Majapahit dan Sultan Hamengkubuwono II. Kakeknya dari pihak ayah, bernama R. Imam Badjuri,
adalah anak dari hasil pernikahan Kasanpuro (Naib Arjosari II – darah biru Majapahit) dan RM
Kustilah ( sebagai turunan kelima trah Sultan Hamengkubuwono II bernama asli RA Srenggono).
Bahkan dalam silsilah lengkapnya, SBY juga memiliki garis keturunan dari Pakubuwono.
Kendati SBY anak tunggal, dia hidup dengan prihatin dan kerja keras. Pada saat sekolah di
Sekolah Rakyat Gajahmada (sekarang SDN Baleharjo I), SBY tinggal bersama pamannya, Sasto
Suyitno, ketika itu Lurah Desa Ploso, Pacitan. Prestasinya saat SR sudah menonjol.
Dalam proses pengasuhan yang berdisiplin keras, pada masa kecil dan remajanya, SBY juga
mengasah dan menyalurkan bakat sebagai penulis puisi, cerpen, pemain teater dan pemain
band.
Pria tegap yang memiliki tinggi badan sekitar 175 cm, kelahiran Pacitan, Jawa Timur, 9
September 1949, ini senang mengikuti kegiatan kesenian seperti melukis, bermain peran dalam
teater dan wayang orang. Beberapa karya puisi dan cerpennya sempat dikirimkan ke majalah
anak-anak waktu itu, misalnya ke Majalah Kuncung. Sedangkan aktivitas bermain band masih
dilaksanakan hingga tingkat satu Akabri Darat sebagai pemegang bas gitar. Sesekali masih juga
menulis puisi.
Di samping kesenian, ia juga menyukai dunia olah raga seperti bola voli, ia senang travelling,
baik jalan kaki, bersepeda atau berkendaraan. Sedangkan olah raga bela diri hingga saat ini
masih aktif dilakukan.
Tekadnya menjadi prajurit mengental saat kelas V SR (1961) berkunjung ke AMN di kampus
Lembah Tidar Magelang.
“Saya tertarik dengan kegagahan sosok-sosok taruna AMN yang berjalan dan berbaris dengan
tegap waktu itu. Ketika rombongan wisata singgah ke Yogyakarta, saya sempatkan membeli
pedang, karena dalam bayangan saya, tentara itu membawa pedang dan senjata,” kenang SBY.
Mewarisi sikap ayahnya yang berdisiplin keras, SBY berjuang untuk mewujudkan cita-cita masa
kecilnya menjadi tentara dengan masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(Akabri) setelah lulus SMA akhir tahun 1968. Namun, lantaran terlambat mendaftar, SBY tidak
langsung masuk Akabri. Maka dia pun sempat menjadi mahasiswa Teknik Mesin Institut 10
November Surabaya (ITS).
Namun kemudian, SBY malah memilih masuk Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama
(PGSLP) di Malang, Jawa Timur. Selagi belajar di PGSLP Malang itu, ia pun mempersiapkan diri
untuk masuk Akabri.
Tahun 1970, dia pun masuk Akabri di Magelang, Jawa Tengah, setelah lulus ujian penerimaan
akhir di Bandung. SBY satu angkatan dengan Agus Wirahadikusumah, Ryamizard Ryacudu, dan
Prabowo Subianto. Semasa pendidikan, SBY yang mendapat julukan Jerapah, sangat menonjol.
Terbukti, dia meraih predikat lulusan terbaik Akabri 1973 dengan menerima penghargaan
lencana Adhi Makasaya.
Saat menempuh pendidikan di Akademi Militer, itu, SBY berkenalan dengan Kristiani Herrawati,
putri Sarwo Edhie. Saat itu, Mayjen Sarwo Edhi Wibowo, menjabat Gubernur Akabri. Perkenalan
terjadi saat SBY menjabat sebagai Komandan Divisi Korps Taruna.
Perkenalan itu berlanjut dengan berpacaran, bertunangan dan pernikahan. Mereka dikarunia dua
orang putra Agus Harimurti Yudhoyono (mengikuti dan menyamai jejak dan prestasi SBY, lulus
dari Akmil tahun 2000 dengan meraih penghargaan Bintang Adhi Makayasa) dan Edhie Baskoro
Yudhoyono (lulusan terbaik SMA Taruna Nusantara, Magelang yang kemudian menekuni ilmu
ekonomi).
Pendidikan militernya dilanjutkan di Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia, AS
(1976), Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983) dengan
meraih honor graduate, Jungle Warfare Training di Panama (1983), Anti Tank Weapon Course di
Belgia dan Jerman (1984), Kursus Komandan Batalyon di Bandung (1985), Seskoad di Bandung
(1988-1989) dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-
1991). Gelar MA diperoleh dari Webster University AS.
Karir Militer
Dalam meniti karir, SBY sangat mengidolakan Sarwo Edhi yang tidak lain adalah bapak
mertuanya sendiri. Dalam pandangannya, Sarwo Edhi adalah seorang prajurit sejati. Jiwa dan
logika kemiliterannya amat kuat. Selain belajar strategi, taktik, dan kepemimpinan militer,
mertuanya itu amat sederhana dalam hidup dan teguh dalam memegang prinsip-prinsip yang
diyakini.
Perjalanan karier militernya, dimulai dengan memangku jabatan sebagai Dan Tonpan Yonif Linud
330 Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi Senapan A, Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri
Dharma, Kostrad) tahun 1974-1976, membawahi langsung sekitar 30 prajurit.
Batalyon Linud 330 merupakan salah satu dari tiga batalyon di Brigade Infantri Lintas Udara 17
Kujang I/Kostrad, yang memiliki nama harum dalam berbagai operasi militer. Ketiga batalyon itu
ialah Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Batalyon Infantri Lintas Udara
328/Dirgahayu, dan Batalyon Infantri Lintas Udara 305/Tengkorak.
SBY, sebagai komandan peleton, giat berlatih bersama anak buahnya sehingga peletonnya
sering kali menjadi andalan bagi Kompi A dalam setiap kegiatan latihan bersama kompi-kompi
lainnya di tingkat batalyon. Selain itu, ia juga mendapat tugas tambahan memberi les
pengetahuan umum dan bahasa Inggris bagi semua anggota batalyon.
Kefasihan berbahasa Inggris, membuatnya terpilih mengikuti pendidikan lintas udara (airborne)
dan pendidikan pasukan komando (ranger) di Pusat Pendidikan Angkatan Darat Amerika Serikat,
Ford Benning, Georgia, 1975.
Kemudian sekembali ke tanah air, ia memangku jabatan Komandan Peleton II Kompi A Batalyon
Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad) tahun 1976-1977. Dia pun memimpin
Pleton ini bertempur di Timor Timur.
Sepulang dari Timor Timur, ia menjadi Komandan Peleton Mortir 81 Yonif Linud 330 Kostrad
(1977). Setelah itu, ia ditempatkan sebagai Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-
1978), Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981), dan Paban Muda Sops SUAD (1981-
1982).
Ketika bertugas di Mabes TNI-AD, itu SBY kembali mendapat kesempatan sekolah ke Amerika
Serikat. Dari tahun 1982 hingga 1983, ia mengikuti Infantry Officer Advanced Course, Fort
Benning, AS, 1982-1983 sekaligus praktek kerja-On the job training di 82-nd Airbone Division,
Fort Bragg, AS, 1983. Kemudian mengikuti Jungle Warfare School, Panama, 1983 dan Antitank
Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984, serta Kursus Komando Batalyon, 1985. Pada saat
bersamaan dia menjabat Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
Lalu dia dipercaya menjabat Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988) dan Paban Madyalat
Sops Dam IX/Udayana (1988), sebelum mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando TNIAD
(Seskoad) di Bandung dan keluar sebagai lulusan terbaik Seskoad 1989.
Dia pun sempat menjadi Dosen Seskoad (1989-1992), dan ditempatkan di Dinas Penerangan
TNI-AD (Dispenad) dengan tugas antara lain membuat naskah pidato KSAD Jenderal Edi
Sudradjat. Lalu ketika Edi Sudradjat menjabat Panglima ABRI, ia ditarik ke Mabes ABRI untuk
menjadi Koordinator Staf Pribadi (Korspri) Pangab Jenderal Edi Sudradjat (1993).
Lalu, dia kembali bertugas di satuan tempur, diangkat menjadi Komandan Brigade Infantri Lintas
Udara (Dan Brigif Linud) 17 Kujang I/Kostrad (1993-1994) bersama dengan Letkol Riyamizard
Ryacudu. Kemudian menjabat Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan Danrem 072/Pamungkas
Kodam IV/Diponegoro (1995).
Tak lama kemudian, dia dipercaya bertugas ke Bosnia Herzegovina untuk menjadi perwira PBB
(1995). Ia menjabat sebagai Kepala Pengamat Militer PBB (Chief Military Observer United Nation
Protection Force) yang bertugas mengawasi genjatan senjata di bekas negara Yugoslavia
berdasarkan kesepakatan Dayton, AS antara Serbia, Kroasia dan Bosnia Herzegovina.
Setelah kembali dari Bosnia, ia diangkat menjadi Kepala Staf Kodam Jaya (1996), hanya sekitar
lima bulan. Saat itu Pangdam Jaya dijabat Mayjen TNI Sutiyoso, yang menggantikan Mayjen TNI
Wiranto yang diangkat menjadi Panglima Kostrad. Pada saat menjabat sebagai Kasdam Jaya,
terjadi peristiwa 27 Juli 1996, yang menyeret namanya menjadi salah seorang saksi dalam
pengungkapan kasus tersebut.
Kemudian dia menjabat Pangdam II/Sriwijaya (1996-1997) sekaligus Ketua Bakorstanasda dan
Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998) sebelum menjabat Kepala Staf Teritorial
(Kaster) ABRI (1998-1999). Penampilan publiknya mulai menonjol saat menjabat Kepala Staf
Teritorial ABRI tersebut.
Pada masa menjabat Kaster ABRI ini reformasi mulai bergulir. TNI dihujat habis-habisan. Pada
saat itu, sosok SBY semakin menonjol sebagai seorang Jenderal yang Berpikir. Ia memahami
pikiran yang berkembang di masyarakat dan tidak membela secara buta institusinya. Dia pun
berperan banyak dalam upaya mereposisi peran TNI (ABRI). Rafermasi TNI dimulai pada masa
ini.
Karir Politik
Sementara, langkah karir politiknya dimulai tanggal 27 Januari 2000, saat memutuskan untuk
pensiun lebih dini dari militer ketika dipercaya menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan
Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Ketika itu ia masih berpangkat
letnan jenderal dan akhirnya pensiun dengan pangkat jenderal kehormatan.
Tak lama kemudian, SBY pun terpaksa meninggalkan posisinya sebagai Mentamben karena Gus
Dur memintanya menjabat Menkopolsoskam untuk menggantikan Jenderal Wiranto yang
terpaksa mengundurkan diri sebagai Menkopolsoskam.
Popularitasnya semakin berkibar saat menjabat Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH
Abdurrahman Wahid) dan Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri).
Tugas terberatnya sebagai Menko Polkam adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat dan
dunia bahwa keamanan di Indonesia dapat diwujudkan. Faktor keamanan inilah yang sering
dijadikan investor asing untuk membatalkan rencana investasinya di Indonesia. Sedangkan dari
dalam negeri, masyarakat sering kali merasa was-was dengan berbagai gangguan seperti teror
bom yang kerap terjadi.
Persoalan lainnya adalah, upaya menghentikan pertikaian di daerah konflik, yang secara
perlahan memperlihatkan kemajuan. Namun, karena besarnya masalah yang dihadapi,
keberhasilan tugasnya itu sering tidak ditanggapi serius. Masih banyak pekerjaan besar
menunggu untuk segera diselesaikan.
Menghadapi tugas berat, ternyata menjadi bagian sejarah hidup SBY yang sebelum menjadi
menteri sempat diprediksi bakal menjadi orang nomor satu di lingkungan militer. Ketika Presiden
KH Abdurrahman Wahid berkuasa, ia sempat diberi tugas untuk melobi keluarga mantan
Presiden Soeharto. Maksud langkah persuasif yang dilakukannya itu agar keluarga cendana
bersedia memberikan sebagian hartanya kepada rakyat dan bangsa. Khususnya untuk
membawa pulang harta keluarga Soeharto yang diperkirakan masih tersimpan di luar negeri.
Padahal saat itu masyarakat tengah menunggu dengan seksama hasil peradilan orang kuat Orde
Baru tersebut.
Presiden Wahid pada awal tahun 2001 pernah memintanya untuk membentuk Crisis Centre.
Dalam lembaga nonstruktural ini Presiden Wahid meminta Yudhoyono menjabat sebagai Ketua
Harian dan menempatkan pusat informasi atau kegiatan (operation centre) di kantor Menko
Polsoskam. Lembaga baru ini berfungsi untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden Wahid
dalam menjawab berbagai persoalan. Termasuk di antaranya sikap Kepala Negara dalam
merespon pemberian dua memorandum oleh DPR.
Kisah ketika dia menjabat Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid)
mengukir kisah tersendiri.
Walau berulang kali menerima kepercayaan bukan berarti Yudhoyono ‘lembek’ dalam
menghadapi Presiden Wahid. Ketika terdengar kabar Presiden Wahid ngotot akan menerbitkan
dekrit pembubaran DPR, maka, bersama Panglima TNI Laksamana Widodo AS dan jajaran
petinggi TNI lainnya, ia meminta Gus Dur mengurungkan niatnya.
Puncaknya, pada 28 Mei 2001, bersama beberapa menteri tidak merekomendasikan rencana
Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Dekrit Presiden. Bahkan tidak bersedia
melaksanakan Maklumat Presiden yang menugaskannya sebagai Menkopolsoskam untuk
mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mengatasi krisis, memelihara keamanan,
ketertiban dan hukum.
Akibatnya ia diberhentikan dengan hormat dari jabatan Menkopolsoskam pada 1 Juni 2001,
kerena menolak rencana Presiden mengeluarkan Dekrit. Ketika ia ditawari jabatan Menteri
Perhubungan atau Menteri Dalam Negeri namun ditolaknya.
Lalu pada Sidang Istimewa MPR-RI, 25 Juli 2001, ia dicalonkan memperebutkan jabatan Wakil
Presiden yang lowong setelah Megawati Soekarnoputri dipilih menjadi presiden. Ia bersaing
dengan Hamzah Haz dan Akbar Tandjung.
Pada 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan melantiknya menjadi Menko
Polkam Kabinet Gotong-Royong. Dia pun tampak menjalankan tugasnya dengan baik. Salah satu
pelaksanaan tugasnya adalah mengumumkan pemberlakuan status darurat militer di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam pada 19 Mei 2003, serta proses penyelesaian konflik Ambon dan
Poso.
Hal itu sangat menguntungkan SBY yang sudah berancang-ancang untuk merebut kursi
presiden. Kemudian popularitasnya makin memuncak. Pertama kali dia masuk bursa calon
presiden, ketika Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia menimangnya menjadi salah satu
kandidat calon presiden dan wakil presiden. Kemudian, Partai Demokrat yang dibidani dan
didirikan bersama beberapa koleganya menyebutnya sebagai calon presiden, bukan calon wakil
presiden.
Lalu iklan damainya muncul di berbagai stasiun televisi. Ia pun menjawab pertanyaan wartawan
yang menanyakan soal tidak dilibatkannya dia dalam beberapa kegiatan kabinet yang
menyangkut masalah politik dan keamanan. Lalu, suami Presiden Megawati, Taufik Kiemas
menyebutnya kekanak-kanakan karena dinilai melapor kepada wartawan bukan kepada presiden
(1/3/2004). Ia pun beruntung karena pers dan beberapa pengamat membangun opini bahwa ia
sedang ditindas oleh Taufik Kiemas, suami Megawati.
Dalam pada itu, dua kali rapat kordinasi bidang Polkam batal dilakukan karena ketidakhadiran
para menteri terkait. Tampaknya para menteri terkait tak lagi mempercayai dan menurutinya. Lalu
pada 9 Maret 2004, dia pun menyurati Presiden Megawati mempertanyakan kewenangannya
sekaligus minta waktu bertemu. Namun, Presiden tidak menjawab surat itu. Mensesneg
Bambang Kusowo kepada pers mengatakan tidak seharusnya seorang menteri (pembantu
presiden) mesti membuat surat meminta bertemu dengan presiden. Dia pun diundang
mengahadiri rapat menteri terbatas. Tapi ia tidak datang.
Ia merasa suratnya tak ditanggapi. Lalu pada 11 Maret 2004, ia memilih mengundurkan diri dari
jabatan Menko Polkam karena merasa kewenangannya sebagai Menko Polkam telah diambil-alih
oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada situasi itu, M. Jusuf Kalla, yang menjabat Menko
Kesra, menemuinya. Lalu, malam harinya, di sebuah hotel, ia bertemu Abdurrahman Wahid yang
diisukan sudah sejak beberapa waktu menimangnya menjadi calon presiden dari PKB.
Jenderal yang simpatik, tampan, mudah senyum dan memikat banyak perempuan ini, ketika
mengumumkan permintaan pengunduran dirinya, mengatakan “Sesuai dengan hak politik saya,
jika nanti pada saatnya ada partai politik, katakanlah Partai Demokrat dan dengan gabungan
partai lain yang mengusulkan saya sebagai calon presiden, insya Allah saya bersedia.”
Keputusan pengunduran dirinya dinilai berbagai pihak suatu keputusan yang elegan. Dalam
perjalanan kariernya, Yudhoyono, memang selalu ingin tampak elegan baik dalam bertutur
maupun bersikap. Sikap itu terlihat dalam beberapa peristiwa penting yang melibatkan langsung
menantu Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo itu.
Langkah pengunduran diri ini dinilai berbagai pihak membuatnya lebih leluasa menjalankan hak
politik yang akan mengantarkannya ke kursi puncak kepemimpinan nasional. Polling
TokohIndonesia DotCom menempatkannya sebagai calon wakil presiden yang paling puncak.
Dwitunggal SBY-JK
Proses pengunduran dirinya yang terkesan akibat tersisihkan dalam Kabinet Megawati telah
mengangkat populeritasnya. Popularitasnya semakin menonjol. Ia seorang yang beruntung
memiliki popularitas politik menggungguli para tokoh poltik lainnya yang justru sebelumnya
meminangnya sebagai Calon Wakil Presiden. Popularitasnya telah mendongkrak perolehan
suara Partai Demokrat pada Pemilu legislatif 2004 yang menduduki peringkat lima dan
mengantarkannya menjadi calon presiden.
Tak lama setelah Pemilu Legislatif April 2004, SBY pun secara resmi meminta kesediaan M.
Jusuf Kalla mendampinginya sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Pasangan ideal
ini dicalonkan Partai Demokrat, PKPI dan PBB.
Pada Pemilu Presiden putaran pertama 5 Juli 2004, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf
Kalla ini memperoleh 39.838.184 suara (33,574 persen) diikuti pasangan Megawati-Hasyim
Muzadi 31.569.104 suara (26,60 persen). Kedua pasangan itu maju ke Pemilu Presiden tahap
kedua 20 September 2004.
Sementara perolehan suara tiga pasangan Capres-Cawapres lainnya yakni di urutan tiga
Wiranto-Salahuddin Wahid meraih 26,286,788 suara (22,154%), urutan empat Amien Rais-
Siswono Yudo Husodo 17,392,931suara (14,658%), dan urutan lima Hamzah Haz-Agum
Gumelar 3,569,861suara (3,009%).
Dalam aturan main Pemilu Presiden ditetapkan jika dalam putaran pertama tidak ada pasangan
Capres-Cawapres yang meraih 50% + 1n suara dengan sedikitnya 20 persen di setiap provinsi
dan tersebar lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, maka peraih suara terbanyak 1
dan 2 ditetapkan untuk maju ke putaran kedua Pemilu Presiden.
Hasil rekapitulasi penghitungan suara dari 32 provinsi ditambah hasil pemilu di luar negeri,
jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya 121.293.844 orang, atau 78,22 persen dari
pemilih terdaftar 155.048.803, lebih rendah dari pemilu legislatif yang 84,07 persen.
Pasangan Yudhoyono-Jusuf meraih kemenangan di 17 provinsi, termasuk di luar negeri.
Pasangan Megawati-Hasyim mengungguli pasangan calon lainnya di enam provinsi. Pasangan
Wiranto-Salahuddin Wahid meraih kemenangan di tujuh provinsi. Pasangan Amien Rais-Siswono
Yudo Husodo meraih kemenangan di dua provinsi. Pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar tidak
memenang di satu pun provinsi.
Kemudian pada Pemilu Presiden putara kedua 20 September 2004, SBY-JK meraih kepercayaan
mayoritas rakyat Indonesia dengan perolehan suara di attas 60 persen, mengungguli pasangan
Mega-Hasyim yang meraih kurang dari 40 persen suara.
Tinggal di Istana
Menjawab pertanyaan wartawan (24/9/2004), akan tinggal di mana setelah dilantik menjadi
presiden, SBY menjawab: “Istana. Saya memilih akan tinggal di sana setelah dilantik.” Pilihannya
beserta keluarga untuk tinggal di Istana Negara didasarkan pada alasan akan lebih efisien dan
efektif bagi pelaksanaan tugasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Menurutnya, di istana akan memudahkan pengaturan kegiatan. Tidak akan terlalu menghambat
lalu lintas, pengamanan akan lebih mudah, tamu-tamu akan mudah pengaturan dan
pendataannya, dan demi penghematan juga. “Kalau saya tinggal di luar istana, pasti diperlukan
pembangunan sejumlah fasilitas yang sebetulnya tidak diperlukan jika saya tinggal di istana,”
katanya. .crs
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Terkait

Kirim Tanggapan

Skip to content Made with passion by Vicky Ezra Imanuel